Apakah anda sudah “gila” sehingga ingin membuka bisnis restoran di pinggir pantai, jauh dari pusat kota pula? Pertanyaan ini yang kerap dikenang oleh Susanto, pemilik Resoran Bamboo House, bila bertutur tentang terobosan yang dilakukannya 21 tahun yang lalu, tepatnya Tahun 1986.
Sahabat dan sanak saudaranya hampir-hampir tidak percaya kalau Susanto mau membuka bisnis restoran di pinggir kota. Lumrah saja bila pertanyaan yang “menyakitkan” ini diajukan kepada Susanto pada awal-awal dia merintis usaha restorannya di Desa Fodo, Laowömaru. (Alamat lengkap: Bamboo House, Jl. Arah Pelud Binaka, Laowömaru, Desa Fodo, Gunung Sitoli. Telp. 22326)
Pada masa-masa tersebut, kenang Susanto, bisnis restoran di Kota Gunung Sitoli mengalami “stagnant” sehingga pria yang beristri Hartati Zebua ini mencoba “memutar otak” dan mencari terobosan baru dalam menjalankan bisnis restoran di Pulau Nias.
Susanto berkeyakinan bahwa tempat makan di luar kota yang berdekatan dengan tempat rekreasi pasti dibutuhkan oleh masyarakat Gunung Sitoli yang ingin mencari suasana rileks di luar rutinitas mereka sehari-hari. Dan pada saat itu, tempat makan yang memenuhi kriteria Susanto belum ada di Nias, khususnya di Gunung Sitoli. Peluang inilah yang kemudian “dibidik” oleh Susanto. Meskipun beberapa kalangan dekatnya meragukan hal ini, Susanto jalan terus mencoba meraih mimpinya.
Sewa Tempat dengan Botol Bekas
Kendala modal adalah hal jamak yang dihadapi oleh pebisnis dalam memulai usaha. Tidak jarang di antara pelaku bisnis, khususnya pemula, sering “merengek ke kiri dan/atau ke kanan” dalam mengumpulkan modal. Tapi tindakan ini tidak dilakukan oleh Susanto. Ia menyiasati kekurangan modalnya dengan kreatifitas!
Metode penyewaan tempat usaha dengan Botol Bekas adalah salah satu contohnya. ”Waktu awal-awal tempat ini bukan milik saya, saya menyewanya dengan menyerahkan semua botol bekas minuman pelanggan kepada pemilik tempat usaha”, ungkap Susanto. “Dan setelah saya hitung-hitung, ternyata, nilai botol bekas tersebut bisa mencapai satu juta rupiah per bulan pada saat itu”, lanjutnya pula.
Sejak hari pertama dibuka, tutur Susanto, Restoran Bamboo House langsung “diserbu” oleh pelanggan. “Langsung rame saat mulai dibuka. Saya tidak perlu menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan menantikan pelanggan. Dugaan saya bahwa masyarakat Gunung Sitoli membutuhkan tempat makan di luar kota terbukti benar”, tegas Susanto membenarkan ”instinct” bisnisnya.
Setelah 3 tahun menjalankan bisnis restorannya, tempat usaha yang disewa dengan botol ini akhirnya menjadi hak milik keluarga Susanto. Bahkan, kini pria yan memiliki 4 anak ini telah mengembangkan bisnisnya dengan membeli tanah di seberang restorannya, seberang jalan, di pinggir pantai.
Karyawan adalah Kunci Utama
Karyawan adalah salah satu kunci utama dalam menjalankan bisnis restoran. Kalimat ini dibenarkan oleh Susanto. Salah satu kendala yang sedang dihadapi Susanto saat-saat ini adalah mencari SDM (Sumber Daya Manusia) yang terampil. ”Pasca bencana gempa bumi di Nias, kami sangat sulit mencari pegawai. Calon pekerja lebih memilih bekerja di proyek BRR atau NGO karena upah tinggi”, ungkap Susanto.
Namun, di samping kesulitan di atas, ada juga berkah. “Tahun-tahun belakangan ini omset saya meloncat mencapai rata-rata 2 kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini bisa dikatakan berkah di balik Bencana Gempa Bumi Nias atau Sengsara Membawa Nikmat”, tukas Susanto riang.
Dalam upaya menekan biaya tenaga kerja, Susanto menyiasatinya dengan mempekerjakan karyawan dalam jumlah yang tidak tetap (fleksibel), tergantung ramainya pelanggan. Misalnya, pada hari-hari biasa dia mempekerjakan 2 orang karyawan, sedangkan pada hari minggu atau hari-hari libur dia mempekerjakan 8 orang karyawan.
Harga makanan di Bambo House tidak jauh berbeda dengan harga di restoran-restoran sejenis di kota-kota besar, misalnya di Jakarta. Mengenai hal ini, Susanto mengaku terus-terang. “Memang ada penyesuaian harga setelah staf-staf NGO dan BRR berdatangan di Gunung Sitoli”, aku Susanto tersenyum. “Selain itu harga ikan dan bumbu-bumbunya juga kan pada naik semua …”, Susanto mencoba memberi alasan tambahan.
Apa yang dilakukan Susanto 21 tahun yang lalu merupakan terobosan yang berani dan cukup berhasil sehingga telah memberi inspirasi langsung atau tidak langsung dalam perkembangan bisnis sejenis di luar Kota Gunung Sitoli, seperti yang dilakukan kini oleh Restoran Moon Beach, Miga Beach, Tomosi, dan lain-lain. |